Laman

Selasa, 06 Agustus 2024

Reorientasi Islam Politik di Indonesia Pasca Kejatuhan Turki Utsmani

Penulis: Aisyah Humairah |

Turki Utsmani adalah sebuah kerajaan besar yang dibangun oleh Ustman (1258-1326), putra Erthogol pada tahun 1300, saat terjadi kekosongan kekuasaan Kerajaan Turki Saljuk akibat serangan bangsa Mongol. Mereka merupakan penduduk asli Asia Tengah yang kemudian terusir oleh bangsa Mongol, dan akhirnya bermukim di barat laut Asia Kecil atau Anatolia. 

Istambul, ibu kota Turki Utsmani (foto: pixabay.com)

Sekitar tahun 1071, sebuah peristiwa sejarah penting terjadi yang memungkinkan invasi Turki ke Anatolia. Selama tahun itu, Turki Saljuk berhasil menaklukkan Kaisar Bizantium di Manzikert, dekat perbatasan Anatolia. Sampai saat ini, Anatolia adalah wilayah "Turki-kan" di bawah kendali Kerajaan Bangsa Turki. Di lokasi ini, Turki Utsmani memulai periode peradabannya. 

Pendirian kesultanan dimulai pada paruh kedua abad ke-6 Masehi. Bangsa Turki yang berasal dari Turkistan melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah Asia Kecil dan menetap di sepanjang sungai Amu Darya, Tabaristan, dan Gorgan. 

Kontak awal antara bangsa Turki dan Muslim terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan berlanjut pada era Utsman bin Affan. Bangsa Turki kemudian memainkan peran penting pada masa Khalifah Abbasiyah, dengan peluang yang dibuka oleh Khalifah Al Mu'tasim.

Bangsa Turki berhasil mendirikan Kesultanan Seljuk, yang berakhir pada masa pemerintahan Ghiyatsuddin Abu Syuja' Muhammad. Sebelum kejatuhan Kesultanan Seljuk, sekelompok orang yang dipimpin oleh Sulaiman melakukan migrasi untuk menghindari serangan Mongol. 

Kepemimpinan Sulaiman diteruskan oleh putranya, Ertugrul, yang menerima sebidang tanah di barat Anatolia dari Seljuk. Era Ertugrul dilanjutkan oleh Utsman yang memperluas kekuasaannya hingga Byzantium, mengguncang semua lawan. Pada masa pemerintahan Utsman, Kesultanan Utsmaniyah secara resmi didirikan.

Dalam perjalanan sejarah politik Islam, usia kekuasaan Turki Utsmani merupakan masa yang terpanjang. Terbentang mulai abad XIV (1300) hingga awal abad XX M (1924). Selama lebih dari tujuh abad itu, Turki Utsmani mampu meluaskan wilayahnya mulai dari Asia Kecil, Afrika Utara, hingga Eropa bagian tenggara. 

Sejak penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al-Fath pada tahun 1453 hingga masa kejayaannya dalam kurun waktu abad XVI M, Turki Utsmani menjadi sebuah politik yang paling besar dan paling kuat di dunia.

Kerajaan Turki Utsmani merupakan kekuatan politik supranasional dan multinasional yang sangat besar dan tersusun dari unsur Masyarakat yang heterogenitasnya tinggi. Sebagaimana diungkapkan Fatma Muge Gocek, bahwa abad XVIII M merupakan masa yang menandai puncak dari transformasi yang sangat cepat di dunia Barat. 

Revolusi ilmiah, penemuan tanah baru, dan kekayaan alam yang terus mengalir ke Eropa. Hubungan antara Barat dan Masyarakat non-Barat kemudian membentuk wawasan baru mengenai perbedaan budaya yang pada tingkat selanjutnya mengarah pada transmisi dan difusi budaya pada masyarakta non-Barat. 

Ketika membahas tentang Islam dan barat baik dalam politik hingga konflik yang terjadi di antaranya. Maka berdirilah Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang awalnya bertujuan menyelesaikan konflik di Timur Tengah antara Dunia Arab dan Israel. Namun, seiring waktu, OKI juga mengurusi berbagai problematika pada negara yang mayoritas atau minoritas muslim. 

Kemunculan OKI sangat melekat dengan semangat Pan-Islamisme (Teori ini mendorong persatuan di antara umat Islam dalam menentang dominasi kekuatan ekonomi dan politik Barat). Teori politik ini dikembangkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid-muridnya. Teori Pan Islamisme ini sudah ada sejak masa kemunduran Turki Utsmani, Pan Islamisme menjadi salah satu pihak yang menginginkan perubahan ideologi Turki.

Antara tahun 1940 dan 1950, Semenanjung Arab Saudi dan wilayah Benua India yang didominasi Muslim memimpin kampanye untuk mendirikan gerakan Islam internasional. Hal ini dimaksudkan untuk melawan oposisi terhadap rezim sekuler di Mesir, Turki, dan Iran. 

Konferensi Internasional pertama tentang Ekonomi Islam diadakan di Karachi pada tahun 1949, sedangkan yang kedua diadakan di Teheran pada tahun 1950. Sementara itu, Konferensi Cendekiawan Muslim diadakan di Karachi pada tahun 1952 sebagai tanggapan terhadap Amin al-Husaini, cendekiawan Islam terkemuka di Palestina. Dalam konferensi ini, ia menekankan tentang persatuan Islam.

Konferensi Islam pertama diadakan di Rabat, Maroko, pada 22-25 September 1969. Para pemimpin Rabat menyatakan bahwa rakyat mereka mampu menciptakan sesuatu yang tidak dapat dihancurkan dan bahwa mereka akan selalu bersedia bekerja sama untuk menyelesaikan perbedaan antara negara-negara Muslim. Tulisan ini memperingati berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang secara resmi didirikan pada Mei 1971.

Organisasi Konferensi Islam (OKI) terus berkembang hingga tahun 2016, dan memiliki 57 anggota, termasuk orang-orang dari Palestina, Nigeria, Albania, dan Azerbaijan. Sebagai peninjau, Siprus Turki dan Front Pembebasan Bangsa Moro (MNLF) hadir secara teratur. 

PBB, Liga Arab dan Organisasi Persatuan Afrika juga mengirimkan utusan tingkat tingginya secara teratur. Selain itu, Liga Muslim Amerika Serikat, Komunitas Muslim Amerika Serikat, dan Liga Muslim Amerika Serikat semuanya bergabung sebagai anggota OKI dari serikat pekerja non-pemerintah.

Dalam proses pembangunan, OKI sering dituding hanya menyoroti keprihatinan negara-negara Arab yang kaya (dan karenanya lebih pro-Barat). Ini karena, dari sudut pandang keuangan, OKI sangat menguntungkan negara-negara ini. Karena itu, OKI cenderung lebih bersimpati pada penderitaan yang dialami umat Islam di negara mereka, seperti yang terjadi di Bosnia, Kashmir, Palestina, dan Chechnya. Kelemahan inilah yang membuat OKI tidak dapat mengenali diri mereka sebagai satu-satunya kekuatan tersisa yang rentan dalam politik internasional.

OKI telah menjadi forum untuk mengangkat problem-problem yang melibatkan Islam. Tapi, OKI cukup selektif saat menentukan masalah apa yang akan diselesaikan jika masalah muncul di luar area penyelesaian. Secara politik, OKI secara konsisten mendukung Israel untuk keluar Palestina, pembentukan organisasi hak asasi Palestina, dan Organisasi Pembebasan Palestina (OPP) sebagai sahnya. 

OKI juga bekerja secara aktif, meskipun kurangnya banyak metode praktis yang efektif, melalui Komite Perdamaian Islam, yang didirikan pada tahun 1981 untuk menyelesaikan konflik antara Israel dan dunia Arab.


Sebab-sebab Keruntuhan Turki Utsmani

Kemunduran dan keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah dimulai setelah kematian Sultan Sulaiman I yang digantikan oleh putranya Sultan Salim II (1566-1574 M). Sultan Salim II tidak mampu memenuhi harapan rakyatnya karena memiliki banyak kelemahan, seperti kebiasaan mabuk-mabukan dan berselingkuh, serta menyerahkan sepenuhnya urusan negara kepada menteri besar Sokoli yang merupakan seorang politisi. Setelah Sultan Salim II meninggal, kerajaan semakin melemah.

Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah adalah munculnya pemerintahan baru di negara-negara Eropa. Konflik langsung dengan kekuatan Eropa mulai terjadi pada abad ke-16 Masehi. Dengan kata lain, setiap negara memiliki kekuatan ekonomi sendiri-sendiri dan berusaha menguasai ekonomi global. 

Sementara Kesultanan Utsmaniyah berusaha memperbaiki dan mengatur penduduk serta wilayahnya, negara-negara Barat memanfaatkan kemunduran Kesultanan Utsmaniyah dengan melancarkan serangan di bidang militer, teknologi, dan ekonomi.

Menurut Syafiq Mughni, ada tiga alasan mengapa Turki menurun dari abad ke-16 ke abad ke-17: pertama, peningkatan jumlah penduduknya. Seperti yang terjadi dalam struktur ekonomi dan uang, pembahasan mendasar terjadi pada jumlah penduduk kerajaan. Penduduk Turki bertambah dua kali lipat. 

Kedua, keadaan ekonomi bangsa. Kebijakan ekonomi Turki didasarkan pada kebijakan ekonomi baru yang diberlakukan oleh negara-negara Eropa, membuat kebijakan ekonomi Turki lebih kaku dan kurang relasional. 

Ketiga, Uni Eropa lahir. Munculnya politik Eropa baru secara umum dapat dipahami sebagai faktor yang paling besar mengenai keruntuhan Turki-Utsmani. Munculnya kekayaan yang baru ditemukan tersebut adalah hasil dari kemajuan teknologi tertentu di Eropa yang telah mengurangi nilai kekayaan yang baru ditemukan baik dalam domain ekonomi maupun militer. Ini tidak hanya berkaitan dengan cara hidup komunitas Islam tetapi juga untuk semua umat manusia. 


Dampak Positif dan Negatif Kejatuhan Turki Utsmani

Ada perbedaan antara kelompok tradisional dan pembaharu dalam hal memahami peran kekhalifahan sebagai sarana menegakkan tradisi agama dan berfungsi sebagai simbol bagi seluruh komunitas Muslim. Ini adalah sifat negatif yang disebabkan oleh Turki Utsmani, yang mengakibatkan keretakan antara golongan. 

Selain golongan tradisional, Turki Utsmani peristiwa keruntuhan juga mengakibatkan hubungan negatif antara para pembaharu. Golongan pembaharu dalam hal ini mencakup golongan Islam dan nasionalis.

Kontribusi Turki Utsmani terhadap gerakan nasionalis dipandang sebagai kekuatan pendorong di balik keinginan rakyat untuk menyatukan bangsa dan rakyatnya dengan identitas nasionalistik yang jelas yang dapat secara efektif melibatkan berbagai konstituen masyarakat. 

Pandangan ini sekarang menjadi semakin terjerat dengan tradisi Islam sebagai hasil dari kompromi. Namun, runtuhnya Turki Utsmani juga memiliki efek positif, yaitu adanya sentimen persatuan dalam komunitas Islam, yang diperkuat dengan pelaksanaan Kongres Islam.
 
Setelah abad ke-16, Daulah Turki Utsmani mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Negara-negara Barat mulai bangkit dan secara bertahap mengambil alih wilayah-wilayah kekuasaan Daulah Turki Utsmani. 

Dalam kondisi seperti ini, Sultan Mahmud II melaksanakan berbagai reformasi di berbagai bidang, termasuk pendidikan dan pengetahuan. Langkah-langkah ini membawa dampak positif, yang ditunjukkan dengan munculnya banyak pemikir terkemuka.


Analisis Dampak Kejatuhan Turki Utsmani
 
Kejatuhan Turki Utsmani ternyata memiliki dampak terhadap peran dan posisi Islam politik di Indonesia. Sebagaimana reorientasi Islam politik di Indonesia setelah kejatuhan Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani) pada tahun 1924 merupakan periode penting dalam sejarah politik dan sosial Islam di Indonesia. Kejatuhan Turki Utsmani, yang merupakan kekuatan besar Islam terakhir di dunia, menandai akhir dari Khilafah Islamiah, sebuah institusi yang sangat berpengaruh bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. 

Kejatuhan Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani) pada tahun 1924 memiliki dampak signifikan terhadap peran dan posisi Islam politik di Indonesia. Kejatuhan Khilafah Utsmani menandai berakhirnya kekhalifahan Islam yang telah ada sejak abad ke-7 Masehi dan memicu perubahan penting dalam dinamika politik Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yakni:

1. Kemunculan Nasionalisme dan Pan-Islamisme

Sebelum kejatuhan Khilafah, banyak umat Islam di Indonesia terpengaruh oleh ide Pan-Islamisme, yang bertujuan untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam satu kekhalifahan. Dengan berakhirnya Khilafah Ottoman, banyak tokoh Muslim di Indonesia yang merasa perlu mencari alternatif untuk memajukan umat Islam dan perjuangan kemerdekaan bangsa. 

Pan-Islamisme yang mendukung persatuan umat Islam di bawah Khilafah juga mengalami kemunduran, dan banyak intelektual serta pemimpin Islam di Indonesia mulai memadukan ideologi Islam dengan semangat nasionalisme Indonesia. Ini termasuk gerakan yang mengedepankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Periode nasionalisme melihat munculnya gerakan-gerakan nasionalis yang juga didorong oleh semangat untuk merdeka dari penjajahan Belanda. Nasionalisme Indonesia dan Islam mulai saling berinteraksi, menggabungkan aspirasi kemerdekaan dengan identitas Islam.

2. Gerakan Modernis dan Reformis

Gerakan Modernis: Setelah kejatuhan Khilafah, banyak kelompok modernis di Indonesia yang memperjuangkan pembaruan dalam pemikiran dan praktik Islam. Mereka mendorong penafsiran yang lebih kontemporer terhadap ajaran Islam dan menekankan pentingnya pendidikan dan pemahaman ilmiah dalam Islam.

Reformis: Kelompok-kelompok reformis seperti Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, mulai mendapatkan pengaruh lebih besar. Mereka berfokus pada reformasi sosial dan pendidikan, serta mencoba mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan tuntutan zaman modern.

3. Politik Islam dan Partai Politik

Munculnya Partai-Partai Politik Islam: Dengan semakin kuatnya rasa nasionalisme dan kebutuhan akan identitas politik, berbagai partai politik Islam mulai muncul. Partai-partai ini mencoba untuk menyatukan aspirasi umat Islam dengan perjuangan kemerdekaan dan kemandirian bangsa.

Contoh Partai: Partai Sarekat Islam, yang sudah ada sebelum kejatuhan Khilafah, menjadi salah satu kekuatan penting dalam politik Islam di Indonesia. Partai ini mengalami berbagai perubahan dan beradaptasi dengan perubahan zaman, menggabungkan ideologi Islam dengan tuntutan politik dan sosial saat itu.

4. Pengaruh Sosial dan Budaya

Pendidikan dan Sosial: Reorientasi ini juga mempengaruhi pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan pesantren dan sekolah-sekolah Islam mengalami perubahan untuk memenuhi tuntutan zaman modern. Ini termasuk penekanan pada pendidikan umum serta integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama.

Budaya dan Media: Media dan publikasi Islam mulai berkembang pesat, yang membantu menyebarkan ide-ide baru dan reformasi di kalangan umat Islam di Indonesia.


Faktor Penghambat

Ada beberapa faktor yang dapat menghambat peran Islam Politik di Indoensia, di antaranya:

1. Pluralisme Sosial dan Politik

Keberagaman sosial dan politik di Indonesia sering kali mengarah pada persaingan dan konflik antara kelompok yang berbeda. Pluralitas ini dapat menyebabkan kesulitan bagi partai politik berbasis Islam untuk mendominasi arena politik secara signifikan.

2. Sekularisme dan Ideologi Negara

Ideologi negara Indonesia, Pancasila, secara eksplisit menyatakan bahwa negara tidak mendasarkan diri pada agama tertentu, membatasi penerapan syariat Islam dalam kebijakan publik.

3. Kepentingan Politik dan Ekonomi

Kepentingan politik dan ekonomi yang beragam sering kali menyebabkan kompromi di dalam politik, yang dapat mengurangi fokus pada agenda politik Islam.

4. Fragmentasi Internal di Kalangan Partai Islam

Partai-partai Islam sering mengalami fragmentasi internal baik dalam hal ideologi maupun kepemimpinan, yang menghambat konsolidasi kekuatan politik mereka.

5. Resistensi Terhadap Radikalisasi

Ada kekhawatiran terhadap radikalisasi yang mungkin muncul dari gerakan politik Islam, yang menyebabkan resistensi dari masyarakat dan kelompok non-Islam.

6. Keterbatasan Sumber Daya

Keterbatasan sumber daya finansial dan jaringan yang dimiliki partai-partai politik Islam sering kali menghambat kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan secara signifikan.

Pada tulisan ini penulis menggunakan teori Politik Behavioral yang menekankan pada studi perilaku politik individu dan kelompok. Yang melibatkan bagaimana sikap, nilai, dan kepercayaan individu memengaruhi keterlibatan politik dan keputusan mereka. 

Dalam konteks politik Islam di Indonesia, teori ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana perilaku pemilih, partai politik dan kelompok masyarakat berpengaruh terhadap posisi dan peran politik Islam. 

Perilaku dari partai politik Islam di Indonesia menunjukkan perilaku yang melibatkan penekanan pada agenda-agenda berbasis agama dalam kampanye mereka. Namun, mereka juga perlu beradaptasi dengan kebutuhan politik yang lebih luas dan beragam untuk memperoleh dukungan yang lebih besar. 

Selain itu, pengaruh sosial dan kultural memainkan peran penting dalam membentuk perilaku politik di Indonesia. Nilai-nilai keagamaan, budaya lokal dan norma sosial mempengaruhi bagaimana kelompok-kelompok politik Islam beroperasi dan berinteraksi dengan kelompok lain dalam masyarakat. 

Keterlibatan aktivisme politik di kalangan kelompok Islam juga dapat mempengaruhi peran dan posisi mereka dalam politik nasional. Gerakan-gerakan sosial dan politik berbasisagama sering kali berusaha memobilisasi dukungan melalui berbagai bentuk aktivitas politik, termasuk demonstrasi dan kampanye. Dan respon partai politik Islam terhadap perubahan dalam sistem politik dan kebijakan publik dapat menunjukkan bagaimana mereka menyesuaikan strategi untuk tetap relevan dan berpengaruh.

Dengan menggunakan teori politik behavioral ini, memberikan wawasan yang mendalam mengenai bagaimana perilaku individu dan kelompok mempengaruhi posisi dan peran politik Islam di Indonesia. Faktor-faktor seperti sikap pemilih, perilaku partai politik, pengaruh sosial dan kultural, serta aktivisme politik semuanya berkontribusi pada dinamika politik Islam di Indonesia.


Trend kebangkitan Islam politik di Indonesia

Trend kebangkitan Islam politik di Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan multifaset, mencakup berbagai aspek sosial, politik, dan ekonomi. Beberapa diantaranya:

1. Meningkatnya Peran Partai Politik Islam

Partai politik berbasis Islam, seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan PAN (Partai Amanat Nasional), menunjukkan kekuatan yang meningkat dalam pemilihan umum. Mereka sering kali mengusung agenda-agenda berbasis agama dan memperoleh dukungan signifikan dari pemilih Muslim.

2. Gerakan Sosial dan Aktivisme

Banyak gerakan sosial berbasis agama yang muncul, seperti aksi-aksi massa yang dipimpin oleh organisasi-organisasi Islam. Ini mencerminkan meningkatnya keterlibatan kelompok Islam dalam isu-isu publik dan politik.

3. Pengaruh Terhadap Kebijakan Publik

Kebangkitan Islam politik juga terlihat dari pengaruhnya terhadap kebijakan publik, di mana beberapa kebijakan mulai mempertimbangkan perspektif agama, seperti kebijakan yang berkaitan dengan hukum syariat di beberapa daerah.

(Penulis adalah Mahasiswi STID Mohammad Natsir, Jakarta)