Penulis: Hanibal W Wijayanta |
Strategi Kedua adalah Membuat Masalah, Kemudian Tawarkan Solusi. Metode ini juga disebut "masalah-reaksi-solusi.” Dengan metode ini “sebuah situasi” sengaja diciptakan untuk memancing publik, sehingga ketika pihak berkepentingan mengajukan sebuah solusi radikal, publik akan membenarkan solusi yang diberikan itu, meski menabrak berbagai aturan.
Di masa Orde Baru dulu, sebelum Operasi Petrus (Penembakan Misterius) dimulai, angka kejahatan tiba-tiba melonjak. Kriminalitas jalanan kian brutal. Polisi sebagai penegak hukum seolah tak mampu menanggulangi. Masyarakat pun ketakutan. Ketika militer atas perintah penguasa memberikan solusi dengan Operasi Petrus, masyarakat hanya diam –antara takut dan setuju— dan cenderung membenarkan operasi pembasmian preman itu. Padahal di tahun-tahun sebelumnya “gali” justru dibina Opsus (Operasi Khusus) dan dimanfaatkan sebagai “tangan kotor pemerintah”.
Strategi Ketiga adalah Strategi Bertahap. Suatu kebijakan yang menyebabkan berbagai masalah, akan diterapkan bertahap, selama bertahun-tahun dan berturut-turut. Menurut Chomsky, strategi ini diterapkan ketika Amerika Serikat memberlakukan kebijakan sosial ekonomi baru neoliberalisme secara radikal selama 1980 dan 1990. Saat itu terjadi kebijakan minimal negara, privatisasi, kerawanan sosial, fleksibilitas, pengangguran besar-besaran, persoalan upah, dan tak ada jaminan upah layak. Jika kebijakan itu diterapkan secara sekaligus, maka akan terjadi begitu banyak perubahan yang bisa berujung revolusi.
Menunda pemberlakuan keputusan adalah strategi keempat. Cara lain agar publik mau menerima keputusan yang tidak populer adalah menonjolkan bahwa keputusan itu adalah “sesuatu yang menyakitkan namun perlu”, dan mencoba meyakinkan bahwa publik pasti akan menerima keputusan itu di masa depan. Masyarakat akan lebih mudah menerima sebuah pengorbanan di masa depan dari pada pembantaian segera. Sebab, keputusan itu tidak serta merta berdampak pada diri mereka.
Masyarakat, massa, publik, juga selalu cenderung memiliki harapan yang naif bahwa "segala sesuatu akan lebih baik besok", dan bahwa pengorbanan yang diperlukan mungkin bisa dihindari pada saatnya nanti. Hal ini memberikan lebih banyak waktu bagi masyarakat untuk membiasakan diri dengan gagasan perubahan dan menerimanya dengan pasrah ketika saatnya tiba.
Di Indonesia, strategi penundaan keputusan sudah sering diterapkan. Misalnya dalam penetapan kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, dan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak popular lainnya. Dalam kasus kenaikan BBM, reaksi keras umumnya hanya muncul pada saat kebijakan diumumkan. Ketika kebijakan itu benar-benar diterapkan, masyarakat hanya bisa pasrah, dan mencoba memaklumi karena kehidupan mereka harus tetap berlangsung.
Ketika isu pelemahan KPK terjadi empat tahun lalu, Presiden Joko Widodo beberapa kali menegaskan bahwa KPK harus terus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai. Bahkan, kata dia, KPK harus lebih kuat dari lembaga-lembaga lain dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk alasan itu, Joko Widodo menolak beberapa usul DPR yang menurut dia berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK. Beberapa kali pula dia menyatakan tidak setuju dengan pemecatan beberapa puluh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan di KPK.
Tapi apa yang terjadi? Kepada beberapa bekas impinan KPK, Jokowi mengatakan bahwa revisi UU KPK adalah keinginan koalisi pemerintahan, dan dia mengaku tak berdaya membendung keinginan partai koalisi. Ia pun hanya diam saja ketika 75 pegawai KPK yang berprestasi dinyatakan tidak lolos dalam tes TWK dan kemudian dibebas tugaskan dari KPK. Belakangan, terungkap pula dalam wawancara dengan bekas Ketua KPK Agus Raharjo, bahwa Jokowi marah dan minta KPK menghentikan penyidikan kasus E-KTP. Menurut bekas pimpinan KPK Erry Riyana Harjapamekas, pelemahan KPK adalah Agenda Jokowi. (Bersambung)
(Penulis adalah wartawan senior)
Baca artikel sebelumnya di:
Baca sambungan artikel ini di: