Penulis: Dr. Baeti Rohman, MA |
Ramadhan selalu lekat dengan Idul Fitri, momen yang menjadi penanda bahwa puasa sebulan penuh yang dijalani umat Islam di seluruh dunia telah dicukupkan.
Setelah memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan kita diharapkan bisa menjadi insan yang fitrah |
Idul Fitri selalu dinanti oleh umat Islam yang menjalankan puasa. Anak-anak, remaja, dewasa, kaum muda, dan orang tua semuanya larut dalam penantian penuh kegembiraan menyambut Idul Fitri.
Dalam budaya masyarakat Indonesia, Idul Fitri identik dengan kegembiraan. Rasa gembira tersebut diekspresikan dengan beragam cara, mulai dari membeli baju baru untuk lebaran, membuat kue untuk tamu yang akan berkunjung saat lebaran, sampai melakukan bersih-bersih rumah dan pemakaman.
Tentu semuanya tidak ada yang salah. Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua itu, yakni memastikan bahwa memasuki Idul Fitri kita termasuk ke dalam golongan yang bersih secara lahir dan batin dan mampu menjaga konsistensi ibadah.
Idul Fitri dalam kacamata orang umum bermakna kembali kepada fitrah. Fitrah manusia adalah kesucian. Kesucian tersebut tergambar saat setiap manusia baru lahir dari rahim ibunya.
Bayi yang baru lahir adalah makhluk yang suci, tidak ada noda dosa. Dalam perjalanannya ketika seorang bayi beranjak menjadi remaja hingga dewasa, maka dosa mulai bermunculan. Boleh jadi tidak terhitung berapa banyak dosa yang telah diperbuat sepanjang periode tersebut, baik dosa yang yang berhubungan langsung kepada Allah Swt., maupun dosa kepada sesama manusia.
Al-Qur’an surah an-Nahl ayat ke-78 menyatakan kelahiran manusia dari seorang ibu. Ketika itu dia sama sekali tidak mengerti apapun tentang dirinya. Dia sama sekali tidak memiliki daya melainkan hanya menggantungkan belas kasih dari makhluk-makhluk sekitarnya.
Jika tidak demikian maka setiap manusia yang lahir hanya menjadi makhluk yang sia-sia. Pendengaran, penglihatan dan hati yang dimliliki secara bawaan akan menjadi daya sesuai dengan perkembangan jasmaninya. Dan, daya itulah yang seringkali menghianati fitrah dirinya dan juga mendurhakai Penciptanya.
Oleh sebab itu Ramadhan dihadirkan oleh Allah Ta'ala sebagai momen khusus bagi manusia beriman untuk mendulang pahala dan bagi para pendosa agar insaf dan berkesungguhan untuk tidak mengulang kembali.
Bila ini berhasil dilakukan maka di akhir Ramadhan manusia akan mencapai predikat takwa yang menghantarkannya bertemu dengan idul Fitri dalam kondisi suci sebagaimana fitrahnya saat lahir ke dunia.
Tugas berat berikutnya setelah itu adalah menjaga konsistensi ibadah yang telah dibangun di bulan Ramadhan,. Dan, konsisitensi itulah yang akan menghantarkan kita kepada sebaik-baik ibadah sebagaimana pernyataan Rasulullah saw. sebaik-baik ibadah adalah yang paling kuat menjaga konsisitensinya.
Penting bagi semua umat Islam untuk memaksimalkan Ramadhan dengan ibadah yang sungguh-sungguh kepada Allah Swt. Mengapa? Sebab Ramadhan merupakan kesempatan terbaik untuk mensucikan diri lahir batin.
Jika kita menggunakan hati dan akal dengan baik, maka kita pasti akan sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa tindakan tidak memaksimalkan ibadah selama Ramadhan sungguh merupakan perbuatan sia-sia, pelakunya adalah orang yang merugi. Tidak ada jaminan manusia yang berjumpa Ramadhan tahun ini masih bisa berjumpa dengan Ramadhan di tahun mendatang, boleh jadi ini merupakan Ramadhan terakhir kita.
Penting melihat kembali bagaimana Nabi Muhammad SAW dan sahabat beliau memperlakukan Ramadhan. Menjelang akhir Ramadhan, Rasulullah dan para sahabat senantiasa dalam keadaan sedih karena akan berpisah dengan bulan yang mulia. Bersedih karena tidak ada jaminan bahwa mereka akan hidup hingga Ramadhan selanjutnya. Sikap ini yang mesti menjadi teladan bagi umat Islam hari ini.
Semua manusia biasa pasti memiliki dosa. Semua manusia juga tidak punya keinginan kelak menghadap Allah dalam keadaan berlumur dosa. Idul Fitri yang identik dengan kembali kepada fitrah mesti kita maknai kembali. Jangan sampai hanya sibuk dengan urusan baju lebaran namun lalai beribadah secara maksimal dalam Ramadhan, akibatnya berjumpa dengan Idul Fitri dalam keadaan yang tidak kembali ke fitrah. ***
Penulis adalah Ketua Umum DPN ISQI (Ikatan Sarjana Al-Qur'an Indonesia)