Penulis: Firda Amalia Sholihat |
Anak merupakan anugrah Allah Ta'ala. Kebanyakan orang tua mendambakan kehadirannya. Anak akan tumbuh dan berkembang bersama keluarga.
Ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak (foto: tadabbur.republika.co.id) |
Seorang anak biasanya akan meniru watak dan perilaku orang yang ia lihat. Anak belum bisa memfliter mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, orang yang ada di sekelilingnya harus mampu menjaga dan membina anak tersebut.
Ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak, di mulai saat ia mengandung, lalu menyapih, dan mendidik. Kebersamaan anak dengan ibu lebih lama dibandingkan dengan ayahnya. Maka, lahirlah istilah Al Umm Madrasatul Ula atau ibu madrasah pertama.
Namun, secara terminologi, ibu dengan perannya mampu mempengaruhi perkembangan pendidikan anaknya. Ini selaras dengan ungkapkan seorang penyair Arab:
الأم مدرسة إذا أعددتَها
أعددتَ شَعْباً طَيِّبَ الأعراق
Ibu adalah madrasah (tempat pendidikan) yang jika Anda menyiapkannya, berarti Anda menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.
Dalam syair tersebut digambarkan bahwa ibu adalah orang pertama yang memperkenalkan sesuatu pada anaknya. Jika ibu baik dalam mengajarkan anaknya maka akan tertanam pondasi yang baik pada diri sang anak.
Dengan demikian seorang ibu harus senantiasa memberikan contoh yang baik dalam proses tumbuh kembang anak dan memberikan kasih sayang serta perhatian yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Ibu harus menampilkan teladan yang baik dalam ucapan dan tingkah laku. Ini akan menjadi metode pendidikan yang utama, karena pengaruh yang ditimbulkan dari melihat langsung lebih besar dari pada sekedar ucapan. Anak yang notabene suka meniru dan mencontoh akan menjadikan orang tuanya sebagai teladan saat di rumah.
Menjadi figur yang baik bagi anak akan sepadan dengan ajaran agama. Tidak sedikit anak yang sinis dan melawan perintah orang tuanya karena ketidaksesuaian antara realita dan perintah yang diberikan. Contohnya ibu memerintahkan anaknya untuk shalat tapi ibunya sendiri tidak melakukannya, maka bagaimana nilai-nilai kebaikan tertanam jika ibu sendiri tidak menjadi teladan yang baik bagi anaknya.
Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian anaknya, berkata, "Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan yang berupa praktik nyata bagi anaknya untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan yang baik. Inilah yang dinamakan pengajaran pada fitrah (manusia)."
Otak anak seperti spon. Ia mampu menyerap informasi yang dilihat, didengar, dan dirasakan saat di rumah. Jika anak tidak dibekali pemahaman moral yang baik maka akan terbentuk dari apa yang dia saksikan tanpa memfliter terlebih dahulu.
Keuletan, kecerdasan, perangai yang ada pada sang ibu akan menjadi faktor dominan sang anak, termasuk ibu susunya. Karena itulah Rasulullah SAW melarang menyusukan anak-anaknya kepada wanita yang lemah akal, karna ia akan mewarisi sifat-sifatnya.
Dalam kitab Ar Raudhul Unuf disebutkan bahwa persusuan itu seperti hubungan darah (nasab). Ia dapat mempengaruhi watak seseorang. Kemudian penulisnya menyitir sebuah hadits dari 'Aisyah radhiallahu'anha secara marfu', "Janganlah kalian menyusukan bayi kalian kepada wanita bodoh, karena air susu akan mewariskan sifat sang ibu."
Ada sebuah kisah yang sudah mashur di masyarakat tentang seorang ayah yang mengadukan kedurhakaan anaknya kepada amirul mukminin Umar bin Khattab. Maka dipanggillah anaknya lalu dimarahi.
Anak tersebut lalu berkata, "Tunggu amirul mukminin, jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jika memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya?"
Umar menjawab bahwa hak anak terhadap ayahnya salah satunya ialah memilihkan calon ibu yang baik bagi anaknya. Anak tersebut menjawab lagi bahwa ayahnya tidak memenuhi hak itu. Ia memilih ibu yang dibeli di pasar seharga 2 dirham.
Umar pun berkata kepada ayah sang anak, "Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil. Pantas kalau ia durhaka kepadamu sekarang."
Dari kisah ini kita menjadi paham bahwa ibu mempunyai peran yang penting membentuk karakter anak. Hal ini dijelaskan juga dalam tafsir Al Azhar yang ditulis oleh Buya Hamka. Dalam tafsir tersebut diceritakan bahwa ada seorang ulama besar, guru dari Imam Ghazali, bernama Imamul Haramain Abdul-Malik al Juwaini.
Saat beliau masih bayi, ayahnya yang bernama Abu Muhammad al Juwaini begitu memegang prinsip agar beliau hanya disusui oleh ibunya. Hal tersebut karena ayah beliau hanya ingin bayinya disusui oleh istrinya, seorang shalih dan taat beribadah.
Hingga suatu hari istrinya sakit, kemudian tetangganya iba kepada bayinya. Lalu disusuilah Imamul Haramain olehnya. Abu Muhammad, sang ayah, yang mengetahui hal tersebut dengan segera mengambil bayinya, dan melakukan upaya agar bayi tersebut memuntahkan air susu yang baru saja diminumnya.
Tindakan Abu Muhammad tersebut karena tidak ingin bayinya disusui oleh perempuan yang tidak diketahui ketaatannya pada Allah. Setelah besar, guru dari Imam Ghazali tersebut kadang marah-marah saat mengajar. Ketika beliau telah selesai dari marahnya, beliau mengatakan bahwa kemungkinan hal tersebut karena sisa air susu yang tidak sempat dimuntahkannya.
Kisah ini memperkuat bahwa apa yang diminum bayi saat menyusui bisa mempengaruhi kepribadian dan watak dari seorang anak. Keshalihah ibu menjadi faktor pendukung utama.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sangat penting peran seorang ibu dalam menyusukan anaknya. Jika si ibu sakit, seperti kisah di atas, maka dibolehkan menyusukan kepada perempuan lain dengan upah yang layak. Kemudian perlu pula memilih dan menentukan perempuan yang taat dan baik akhlaknya, seperti yang dilakukan oleh Aminah saat menyusukan anaknya Muhammad di waktu bayi.
Salah satu perempuan yang menyusui Nabi Muhammad adalah Halimah binti Abu Dzuaib (Halimatus Sa'diyah) wanita yang berasal dari kabilah Sa'diyah, salah satu kabilah yang terkenal memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Oleh karenanya, ketika Abu Bakar r.a. mengomentari bahasa Nabi Saw yang fasih, ia berkata :
مَارَأَيْتُ مَنْ هُوَ أَفْصَحُ مِنْكَ يَارَسُوْلَ الله
"Aku tidak pernah melihat orang yang lebih fasih bahasanya dibandingkan engkau, wahai Rasulullah."
Beliau menjawab:
مَا يَمْنَعُنْي وَأَنَا مِنْ قُرَيْشٍ وَأُرْضِعْتُ فِي بَنِي سَعْدٍ
"Kenapa tidak? Aku dari suku Quraisy, dan aku disusui di Bani Sa'd"
Nabi Saw tinggal bersamanya selama empat tahun, sampai terjadi sebuah peristiwa yang membuat ibu asuhnya Halimahtu Sa'diyah merasa cemas dan menghawatirkan anak asuhnya. Peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad Saw yang dilakukan oleh Malaikat membuat ibu asuhnya cemas, sehingga ia segera mengembalikan kepengasuhan Muhammad Saw kepada ibunda Aminah.
Selain memperhatikan ibu susunya, orangtua mempunyai kewajiban mengajarkan ketauhidan kepada Allah SWT, seorang anak harus mengenal siapa penciptanya, pencipta langit dan bumi, mengajarkan akhlakul karimah dan berbakti kepada orang tua.
Tapi sayang saat ini sedikit sekali orang tua yang memiliki pemahaman seperti itu, lalai bahkan meremehkan. Kebanyakan orang tua hanya memenuhi kebutuhan material saja, makannya, pakaiannya, dan mainannya. Padahal anak adalah investasi berharga bagi orangtuanya. Pengajaran tauhid paling penting bagi seorang anak. Jika anak tidak memiliki bekal pemahaman tauhid maka siapa yang akan mendoakan orang tuanya setelah mereka meninggal?
Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang sholeh" (HR. Muslim no. 1631)
Penulis pernah bertanya kepada beberapa anak TPA ketika ditugaskan pratikum dakwah di kampus, apakah tadi shalat Subuh? Dzuhur? Ashar? Anak usia TK- SD, 50% menjawab tidak.
Alasannya bervariasi, kesiangan, ibu tidak membangunkan, bahkan ada yang menjawab ibu dan ayahnya pun tidak shalat. Jika orang tuanya tidak mencontohkan lalu bagaimana mereka bisa melakukannya? Maka pantas saja anak menganggap bahwa shalat bukan hal yang penting.
Kemudian, penulis bertanya kepada remaja SMP-SMA, 40% menjawab tidak. Alasannya hampir sama, hanya saja mereka ada yang menjawab lupa.
Seusia mereka masih lupa shalat itu tidak wajar, melihat mereka sudah baligh, pertanggung jawaban amal sudah di tangan mereka, tapi menjadikan shalat bukan prioritas, memang miris. Jika shalat saja lupa bagaimana bisa mendoakan orang tuanya?
Pemahaman tauhid harus di nomersatukan, karena agama adalah pondasi hidup. Mendalaminya menjadi kewajiban bukan pilihan.
Sebelum memahamkan anak, terlebih dahulu orangtuanyalah yang harus paham dan merealisasikannya. Lihatlah Lukmanul Hakim yang sukses mengajarkan tauhid kepada anaknya. Ia memanggil anaknya dengan yaa bunayya, wahai anakku, sehingga mengendap ke hati anak.
Cara Lukman mendidik anaknya diabadikan di dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman :
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖإِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"
Lalu bagaimana cara menanamkan makna-makna itu dalam jiwa anak? Hendaknya memperlihatkan kekuasaan Allah di alam semesta ini. Misalnya, dengan mengajak jalan-jalan, mentadaburi ciptaan Allah dengan segala keindahannya, gunung yang menjulang tinggi, dan laut yang terhampar luas. Tanamkan bahwa adanya sesuatu pasti ada yang menciptakan, yakni Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta'ala..
Seperti contoh Najmuddin Ayyub yang menginginkan anaknya menjadi pembebas mesjid Al-Aqsha. Ia memcarikan anaknya pendamping yang sesuai dengan misinya. Maka, lahirlah Shalahuddin Al-Ayubi yang berhasil membebaskan Masjid Al-Aqsha. Sedari kecil Shalahudin sudah dikenalkan tauhid, esensi, dan karakteristiknya.
Irawati Istadi dalam bukunya berjudul Mendidik dengan Cinta memaparkan bahwa banyak orang tua yang mencintai anaknya dengan setulus hati, tetapi sebagian dari mereka salah dalam menerapkan bahasa cinta karena terbatasnya ilmu mendidik. Metode pendidikan pun seadanya, bahkan terkesan salah, tidak mencapai tujuan semula, malah sebaliknya, anak menjadi pembohong, pencela, bahkan memusuhi orangtuanya.
Maka ini jadi perhatian, jangan sampai anak-anak dibiarkan saja tanpa di penuhi hak-haknya, hak material maupun penanaman nilai agama, agar tumbuh menjadi pribadi yang bukan hanya kuat fisik tapi kuat iman. ***
Penulis adalah mahasiswa STID M Natsir, Jakarta.