Penulis: Syaefullah Hamid, SH., MH |
Putusan pidana mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa Ferdi Sambo (FS) seolah menjadi air segar yang memenuhi dahaga masyarakat yang sudah lama menantikan keadilan dalam perkara FS sehingga putusan tersebut disambut dengan rasa gembira masyarakat. Puja-puji pun mengalir kepada Majelis Hakim karena dianggap telah mengadili perkara ini dengan hati nurani.
Ferdi Sambo sedang berbincang bersama tim penasehat hukum saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (foto: tadabbur.republika.co.id) |
Namun, seiring dengan kegembiaraan itu, terselip juga kekhawatiran masyarakat karena setelah putusan pidana mati tersebut dibacakan, beredar (viral) video Hotman Paris (HP) yang mengomentari soal pidana mati dalam KUHP yang menyebutkan bahwa pidana mati akan ditinjau kembali setelah 10 tahun. Apabila setelah 10 tahun terpidana berkelakukan baik maka pidana matinya diubah menjadi pidana seumur hidup.
Walaupun video ini tidak ada hubungan dengan putusan FS karena HP dalam video ini sebenarnya mengomentari ketentuan KUHP baru yang waktu itu baru saja disahkan oleh DPR namun sontak saja video ini membuat masyarakat menjadi khawatir dan sekaligus bertanya-tanya, apa benar KUHP baru berlaku terhadap putusan FS.
Mahfud MD (MMD) pun, sebagaimana dikutip situs online tempo.com (tanggal 14 Februari 2023) memberikan pernyataan yang seolah menguatkan pernyataan Hotman Paris. MMD menyatakan “vonis mati terhadap Ferdi Sambo bisa diturunkan jika belum dieksekusi saat KUHP baru diberlakukan pada tahun 2026 mendatang”.
Alasan MMD menyatakan itu karena menurutnya, “jika seseorang proses hukumnya belum inkracht lalu ada perubahan peraturan, maka yang berlaku adalah hukuman yang lebih ringan kepada terdakwa”.
Pernyataan MMD ini tentu dapat semakin menebalkan kekhawatiran masyarakat, oleh karenanya penulis merasa perlu menjawab pertanyaan masyarakat dan menanggapi pernyataan MMD di atas.
Penulis akan memulai tulisan ini dengan menyatakan bahwa “KUHP baru tidak dapat diberlakukan terhadap putusan Ferdi Sambo”.
Pemberlakuan KUHP baru terhadap putusan FS jelas akan melanggar asas legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengharuskan ketentuan pidana itu tidak berlaku surut. Walaupun KUHP baru telah disahkan oleh DPR pada tanggal 6 Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 namun dalam Pasal 632 Undang-Undang KUHP (baru) diatur bahwa UU ini mulai berlaku 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Ini artinya saat tindak pidana yang dilakukan oleh FS terjadi, KUHP baru belum berlaku sehingga tidak dapat diterapkan dalam kasus FS. Makanya dalam kasus FS diberlakukan KUHP yang lama.
Lantas bagaimana dengan vonis FS setelah KUHP baru berlaku, apakah KUHP baru dapat mempengaruhi vonis mati Sambo menjadi pidana seumur hidup?
Dalam Pasal 100 ayat (4) KUHP baru sebagaimana dikutip oleh Hotman Paris dalam videonya, memang mengatur bahwa pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun dan jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
Namun ketentuan ini tidak berdiri sendiri, ada ketentuan lain yang berkaitan dalam Pasal 100 ayat (2) KUHP (baru) yang mengatur bahwa “pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan”. Merujuk kepada ketentuan ini, maka tidak mungkin KUHP baru mempengaruhi vonis mati FS karena dalam putusan perkara FS tidak ada tercantum masa percobaan pidana mati sebab KUHP lama yang diberlakukan dalam perkara FS tidak mengenal “masa percobaan pidana mati”. Sehingga tidak mungkin Majelis Hakim mencatumkan itu dalam putusannya.
Kalau hanya membaca ketentuan Pasal 100 ayat (4) saja atau tidak membaca ketentuan Pasal 100 secara menyeluruh, pasti akan menimbulkan tafsir yang keliru dan menyesatkan sebagaimana tafsir yang dikemukan oleh MMD. Alasan yang dikemukakan MMD yang menyebutkan “jika seseorang proses hukum yang belum inkracht lalu ada perubahan peraturan, maka yang berlaku adalah hukuman yang lebih ringan kepada terdakwa”, pun jelas keliru karena alasan ini tidak relevan dengan perkara FS.
Alasan MMD ini berkaitan dengan substansi ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP (lama) namun di dalamnya terdapat kekeliruan karena menyimpang dari substansi ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP (lama) yang menyebutkan “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Perubahan aturan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP (lama) adalah hanya berpengaruh terhadap Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu berpengaruh terhadap ketentuan pidana apa yang akan didakwakan terhadap terdakwa tapi tidak berpengaruh terhadap putusan Majelis Hakim. Walaupun putusan Majelis Hakim dalam perkara Sambo belum inkracht pada saat KUHP Baru berlaku pada 2 Januari 2026 namun Majelis Hakim baik banding, kasasi, maupun PK yang sedang mengadili perkara FS saat KUHP baru berlaku tidak dapat memberlakukan KUHP baru karena hal tersebut akan bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang secara tegas menentukan bahwa putusan Majelis Hakim itu didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. JPU tidak pernah mendakwa FS dengan KUHP baru tapi menggunakan KUHP lama sehingga tidak mungkin Majelis Hakim menggunakan KUHP baru dalam putusannya.
Satu-satunya yang dapat mempengaruhi putusan pidana mati Ferdi Sambo adalah Presiden karena presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi (pengampunan berupa pengurangan bahkan penghapusan pelaksanaan pidana) kepada terpidana termasuk Ferdi Sambo. Oleh karenanya menjelang Pilpres 2024, penting untuk memastikan bahwa presiden yang akan terpilih nanti, punya komitmen yang sama dengan rasa keadilan masyarakat. ***
(Penulis adalah managing partner SHP Law Firm)