Penulis: Asih Subagyo |
Korupsi tergolong sebagai extra ordinary crime, artinya kejahatan yang luar biasa. Sebab, korupsi saat ini sudah meluas dan berjalan sistematis. Pelaku korupsi tidak hanya melanggar hak-hak ekonomi masyarakat semata akan tetapi juga merampas hak asasi manusia.
Dari titik ini, sangatlah tepat tafsir Kemenag tentang ayat 34 surat Al A’raf, ”Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan.”
Dijelaskan pula bahwa ketentuan turunnya ajal merupakan kenyataan sejarah di mana tiap-tiap umat atau bangsa memiliki batas waktu untuk maju atau mundur, jaya atau hancur. Sedangkan ajal yang dimaksud adalah azab dari Allah Ta'ala bagi umat atau bangsa tersebut.
Hal ini terjadi apabila umat atau bangsa yang telah durhaka tidak mau menerima kebenaran dan hulum-hukum Allah Ta’ala, berlaku sewenang-wenang, sekehendak nafsunya, dan tidak segan-segan mengerjakan perbuatan keji dan mungkar.
Setidaknya ada dua ketentuan turunnya sebuah azab. Pertama, umat atau bangsa itu hancur dan musnah, bahkan sampai hilang dari permukaan bumi. Hal ini setidaknya dapat kita jumpai dalam malapetaka yang telah diturunkan Allah Ta’ala kepada kaum Nuh, 'Ad, Tsamud, Fir'aun, dan Luth.
Umat itu telah hilang dari permukaan bumi sebab kedurhakaan dan keingkaran mereka. Mereka tidak mau menerima ajaran-ajaran yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul di masanya. Padahal, kehadiran Nabi dan Rasul tersebut telah memberikan peringatan berkali-kali. Akan tetapi, mereka tidak percaya, bahkan semakin membangkang dan sombong. Sehingga tibalah ajal mereka dengan kehancuran, kebinasaan, dan musnah.
Azab yang merupakan kehancuran sebagaiaman tersebut di atas, hanya khusus berlaku bagi umat-umat terdahulu yang tidak akan terjadi lagi pada umat Nabi Muhammad saw. Sebab kedatangan Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semua penghuni alam ini (QS 21: 107).
Kedua, umat menjadi hina, miskin, bodoh, dan dijajah. Allah Ta’ala menurunkan azab bukan untuk menghancurkannya, sebagaimana umat atau bangsa terdahulu, melainkan hilangnya kebesaran dan kemuliaan mereka. Mereka jatuh menjadi umat yang hina-dina, tidak ada harga dan kemuliaan lagi.
Mengapa demikian? Sebab, dalam realitas sejarah, telah kita jumpai umat yang pada mulanya jaya, unggul, dan terhormat, namun akhirnya menjadi hina, melarat, dan tercampakkan dari peradaban dunia.
Hal ini disebabkan, selain karena tidak melaksanakan syariat Allah Ta’ala, juga dipicu oleh budaya hedonisme. Mereka berfoya-foya menghamburkan harta kekayaan untuk maksiat.
Para pemimpin dan penguasa serta seluruh pendukungnya berlaku sewenang-wenang, berbuat aniaya sesama manusia, menindas, menghabiskan harta umat dengan cara yang tidak benar, baik dengan korupsi, maupun menipu. Di sisi lain, penyakit syirik merebak dengan suburnya. Mereka memang menyembah Allah, tetapi juga menyembah dan lebih takut kepada makhluk-Nya.
Maka datanglah ajal umat atau bangsa itu. Mereka menjadi umat yang lemah dan hina di mata manusia, serta hina di mata Allah Ta’ala.
Kedatangan azab tidak dapat ditangguhkan waktunya, walaupun hanya sesaat saja. Tidak pula dapat dimajukan. Tidak seorang pun yang tahu saat datangnya azab itu. Apakah di waktu malam atau di waktu siang.
Kadang-kadang datangnya tiba-tiba, di saat umat sedang lengah, lupa daratan, bersenang-senang. Semua piranti canggih sekali pun, tidak mampu memprediksi dengan presisi yang tepat kapan datangnya azab.
Seandainya diketahui kapan ajal itu akan datang, tentu manusia minta ditangguhkan. Mereka segera memperbaiki kesalahan dan meninggalkan perbuatan keji. Akan tetapi itulah rahasia Allah Ta’ala. Yang bisa manusia lakukan adalah menghindari perbuatan yang mengundang datangnya azab itu.
Jangan lupa, dari sekian banyak penyebab turunnya azab Allah Ta'ala, korupsi juga termasuk di dalamnya. Allah Ta'ala mungkin saja akan mempercepat turunnya azab sehingga kejahatan korupsi seketika hilang asampai ke akar-akarnya.
Wallahu a'lam
(Penulis adalah peneliti senior pada Hidayatullah Institute)