Penulis: Asih Subagyo |
Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan. Hal ini sebagai refleksi atas terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu imperalis yang menjajah Nusantara. Setidaknya dalam catatan sejarah ada 6 negara yang pernah menjajah Indonesia, yaitu: Perancis, Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Jepang. Masing-masing dengan luasan wilayah dan waktu menjajah yang berbeda-beda. Dan, yang terlama adalah Belanda.
Saat Belanda menjajah itulah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan. Sebuah mata rantai yang panjang, lintas generasi dengan jutaan pejuang dan pahlawan yang dicatat sejarah atau pun tidak. Sehingga, dari sini, para founding fathers dalam menyusun teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dengan menggunakan terma "Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan keinginan luhur." Sebuah pemahaman tauhid yang sempurna, memadukan kehendak dan takdir Allah Ta'ala, serta ikhtiar hamba-Nya.
Kita mafhum, secara bahasa, sebagaimana pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna “kemerdekaan” adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Merdeka berarti bebas. Perjuangan para pahlawan kemerdekaan membuat masyarakat Indonesia dapat menghirup udara bebas dengan jiwa yang terlepas dari belenggu penjajahan. Artinya secara dejure dapat menentukan nasibnya sendiri, meskipun secara defacto bisa lain ceritanya.
Dalam perspektif Islam, kita dapat merujuk beberapa pendapaf //salafus shalih// yang sangat mendasar dan substantif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Katsir, yang mengutip atsar dari sahabat Mughirah bin Syi'bah ra, "…Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)." (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Atsar di atas sesungguhnya merupakan dialog antara Jenderal Rustum dari Persia dengan Mughirah bin Syu’bah ra yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab’i bin ‘Amir ra, utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Ia diutus pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.
Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?”
Rab’i bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Pertanyaan mendasarnya adalah, dengan melihat realitas kekinian dan kedisinian, dalam kontek individu, berorganisasi, berbangsa dan bernegara, sudahkah kita merdeka dengan menggunakan indikator sebagaimana yang disampaikan Mughirah bin Syu'bah dan Rabi' bin Amir tersebut? Mari kita jujur menjawabnya.
Peneliti Senior pada Hidayatullah Institute