Penulis: Asih Subagyo |
Beberapa hari menjelang Ramadhan tahun ini, kita dihebohkan sebuah reaksi atas kegiatan membaca Al-Qu’an secara kolosal di Jalan Malioboro, jantung kota Yogyakarta, pada hari Selasa, 27 Maret 2022.
Biasanya, setiap hari Selasa Wage, seperti hari itu, Malioboro diberlakukan bebas dari kendaraan umum dan hanya berisi para pejalan kaki. Pada hari itu banyak digelar hapenning art atau flashmob yang menampilkan kegiatan kesenian daerah.
Namun, Selasa itu, di depan Benteng Vredeburg, tepat di titik nol kota Yogyakarta, ibu-ibu, bapak-bapak, dan kaum milenial justru menggelar pengajian di tempat tersebut. Mereka asyik membaca Qur'an, baik mushaf cetak maupun gadget, dengan suara lirih.
Yang dibaca sama, yakni Surat Yasin [36]. Durasinya sekitar 10 hingga 15 menit, bahkan ada yang lebih cepat karena banyak yang sudah biasa dan hafal. Lagi pula surat Yasin hanya terdiri dari 83 ayat. Di dalam mushaf standar, surat ini hanya terdiri atas 3 lembar saja.
Kegiatan ini sebenarnya menjadi bagian dari Tarhib Ramadhan yang dilakukan Badan Wakaf al Qur’an Yogyakarta. Kegiatan ini tentu sangat baik bagi syiar Islam menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.
Kegiatan ini ternyata mendadak viral di berbagai media sosial dan sempat menjadi trending. Sudah tentu banyak respon positif dan memberi dukungan. Akan tetapi tidak sedikit pula yang kontra lalu memberikan pendapat yang sinis dan kontroversial, lalu mengaitkan kegiatan yang mulia ini dengan caption yang menunjukkan kebencian dan islamopobia akut.
Mereka dengan enteng menyatakan bahwa acara itu menjadi pemicu bangkitnya Muslim radikalis di Yogyakarta. Ini sebuah tuduhan yang serampangan. Lantas mengaitkan kegiatan yang mulia itu dengan narasi-narasi provokatif usang yang terus diusung dan diasong, berkenaan dengan isu-isu terorisme, intoleran, fundamentalisme, khilafah dan diksi serta kalimat yang sejenis dengan itu.
Tak lupa juga disertai berbagai umpatan kasar dan sarkas. Tidak sedikit yang dikemas seolah-olah ilmiah dan menggunakan pendekatan fiqh yang dibuat-buat. Akan tetapi senyatanya justru semakin mengkonfirmasi siapa mereka sesungguhnya dan atas kepentingan apa mereka bereaksi tersebut. Klasternya akan terlihat dengan jelas.
Sebagai kelompok mayoritas di negara ini, umat Islam telah merasakan bagaimana didiskreditkan oleh mereka, terutama beberapa waktu belakangan ini. Upaya itu kentara dan cenderung sistemik.
Antar sesama umat Islam terus dibenturkan. Setiap saat selalu ada isu-isu baru yang dimunculkan. Di lain pihak, terjadi politik belah bambu, satu diinjak yang satu diangkat.
Sayangnya umat Islam masih belum sadar dan mudah terprovokasi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh mereka yang tak suka dengan Islam. Mereka berani terang-terangan melecehkan Islam dengan berbagai modus operandi. Seolah mereka kebal hukum dan ada pembiaran.
Jika ada di antara mereka yang dilaporkan ke pihak berwajib, selalu saja pemrosesannya diundur-undur, bahkan tidak diproses sama sekali. Tetapi berlaku sebaliknya, jika itu diakukan oleh tokoh Islam/ulama, pasti cepat direspon. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Kembali ke permasalahan baca al-Qur’an di atas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) bersabda, sebagaimana disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.” (Riwayat Tirmidzi).
Merujuk hadits di atas, sebagaimana pula kita sudah mafhum betapa Ramadhan merupakan bulan yang penuh keutamaan, sehingga pahala dilipat gandakan. Bahkan hanya Allah Ta'ala yang tahu berapa kelipatannya.
Maka tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk tidak berinteraksi dengan al-Qur’an. Setidaknya memperbanyak tilawah (tadarus), muraja’ah, menghafal, dan seterusnya. Di mana pun kita berada, dan dalam waktu dan kondisi apa pun, asalkan tempat tersebut suci dan diri kita dalam keadaan bersuci. Karena begitulah adab dalam berinteraksi dengan al-Qur’an.
Semuanya itu, menurut Ibnu Al-Qayyim, sebagai wujud dari pengamalan al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana beliau tulis dalam kitabnya Zad al-Ma’ad, “Sebagian Salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al-Quran diturunkan untuk diamalkan. Kerena itu, jadikanlah aktivitas membaca al-Quran sebagai wujud pengamalannya. Ahlul Qur’an adalah orang yang memahami dan mengamalkan al-Quran walaupun ia tidak menghafalkannya. Sebaliknya, orang yang menghafal al-Quran, namun tidak memahami dan mengamalkan kandungannya (meskipun ia sangat perhatian dalam pengucapan hurufnya), tidak layak menyandang predikat sebagai Ahlul Qur’an” (Ibnu Al-Qayyim, Zad Al-Ma’ad, I/338).
Dengan demikian maka tetaplah membaca al-Qur’an dan mengamalkannya semaksimal mungkin. Jadikanlah al-Qur'an sebagai way of life. Kita mesti tetap optimis, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Ta'ala di Surat Ash-Shaff [61] ayat 8, "Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya."
Dalam Tasir Al-Muyasar berkenaan dengan ayat di atas dijelaskan, ”Orang-orang zalim itu ingin membatalkan kebenaran yang dengannya Muhammad diutus, yaitu al-Quran, dengan ucapan-ucapan mereka yang dusta. Allah memenangkan kebenaran dengan menyempurnakan agama-Nya sekali pun orang-orang yang mengingkari dan mendustakan membencinya.”
Pertanyaan kemudian adalah, kapan tempat lain menyusul?
Wallahu a’lam
(Penulis adalah senior researcher at Hidayatullah Institute Researh Center)