Laman

Rabu, 20 April 2022

Enam Sikap Menghadapi Ujian

Penulis: Asih Subagyo

Allah Ta'ala berfirman dalam al-Qur'an surat al-Baqarah [2] ayat 214, "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, 'Bilakah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat."

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di di dalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan menafsirkan ayat di atas dengan kalimat-kalimat seperti ini: Demikianlah setiap orang yang menegakkan kebenaran pasti akan diuji, dan ketika persoalan mereka semakin sulit dan susah lalu mereka bersabar dan tegar menghadapinya, niscaya ujian tersebut akan berubah menjadi anugerah untuk mereka, dan segala kesulitan itu menjadi ketenangan, lalu Allah menangkan mereka atas musuh-musuh mereka serta mengobati penyakit yang ada dalam hati mereka.

Ada hal menarik dan menggelitik sekaligus menjadi tadzkirah bagi kita dari tafsir Syaikh Abdurrahman di akhir ayat. Beliau menyatakan ketika ujian itu ada, maka seseorang menjadi mulia atau menjadi hina (karenanya). Konsekuensi logisnya adalah, setiap ujian yang ditimpakan kepada hamba, apa pun bentuknya, sesungguhnya ibarat dua sisi mata uang; bisa membawa kemuliaan, dalam arti akan menjadi semakin beriman, atau dia akan dihinakan oleh Allah Ta'ala jika kemudian salah dalam menyikapi berbagai bentuk ujian itu. 


Surat Al-Baqarah [2] ayat 214 ini senada dengan surat Al-Imran [3] ayat 142, "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar." 

Syekh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya barangsiapa yang ingin menyusuri jalan menuju syurga maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi penderitaan dan rintangan, dan bersabar dari segala kemaksiatan yang menggiurkan, dan bersabar pula di atas ketaatan yang berat tanpa mengurangi nilai keutamaannya."

Hal yang sejenis pula terdapat pada Surat Al-Ankabut [29] ayat 2 dan 3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman' sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."  

Dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar menafsirkan ayat tersebut dengan perkataan, ”Yakni sedang mereka tidak diberi cobaan dalam harta dan diri mereka. Kenyataannya tidak seperti yang mereka sangka, mereka harus diuji dengan perintah berjihad, kemiskinan, marabahaya, dan lain sebagainya, agar jelas siapa yang jujur dalam keimanannya dan siapa yang munafik, siapa yang benar dan siapa yang bohong.”


Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allâh mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapat keridhaan-Nya. Siapa yang membencinya maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya,” (Riwayat at-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, ”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka dia akan mencobanya dengan cobaan yang tidak ada obatnya. Jika dia sabar, maka Allah memilihnya dan jika dia ridho, maka Allah menjadikannya pilihan.'”(Riwayat Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, 3/302).

Bagaimana Sikap Kita?

Sebenarnya masih banyak lagi dalil berkenaan dengan ujian ini. Akan tetapi, yang perlu kita pahami bahwa keutamaan dan keberhasilan menghadapi ujian dalam berbagai bentuk merupakan pintu masuk menuju jannah-Nya. Oleh karenanya kita meski memiliki sikap yang tepat dalam menghadapi ujian ini, sehingga mengubah ujian menjadi anugerah. 

Setidaknya ada  6 (enam) sikap yang bisa kita jadikan pedoman untuk menghadapi ujian tersebut, yaitu : 

Pertama, sabar, karena sikap sabar ini merupakan kunci dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Semakin tinggi tingkat kesabaran seseorang, maka semakin siap pula ia menghadapi suatu masalah. 

Orang yang sabar adalah orang yang memiliki nilai tinggi dalam hidup dan lingkungannya. Dalam terminologi Islam, sikap sabar ini di ditunjukkan dengan menerima kenyataan dan berkhusnudzon terhadap Allah Ta'ala bahwa ini adalah takdir terbaik untuknya. Sikap seperti ini tentunya memberikan berbagai macam dampak positif bagi siapa pun yang menerapkannya.

Kedua, semakin beriman, sebab Iman adalah pondasi hidup seorang Muslim. Iman yang sejatinya merupakan sumber kekuatan seorang Muslim akan diuji oleh Allah Ta'ala melalui berbagai macam ujian hidup. 

Di sisi lain, iman itu kadang naik kadang turun. Justru dengan adanya ujian, seharusnya semakin meningkatkan keimanan kita kepada Allah Ta'ala dengan memperbanyak amal dan ibadah. Karena di satu sisi, ujian adalah wujud kasih sayang Allah Ta'ala terhadap hamba-Nya.


Ketiga, berzikir. Inti dari berzikr adalah mengingat Allah Ta'ala. Jika mengingat Allah Ta'ala maka seorang hamba akan dilapangkan dadanya, bahkan lebih lapang dari dunia dan seluruh yang ada di dalamnya. 

Shalat merupakan salah satu bentuk dari dzikir itu sendiri. Hati yang berzikir akan memberikan nutrisi kehidupan ke seluruh tubuh sehingga kehidupan yang dijalani akan terasa sangat ringan.

Keempat, ridha dan berkhusnudzan. Rasulullah SAW menjanjikan siapa yang ridha terhadap ujian yang menimpanya, maka Allah Ta'ala akan ridha terhadapnya. Karena dengan ridha, hati kita akan menerima dengan ikhlas, tanpa beban. 

Obat yang paling manjur bagi setiap ujian adalah ridha ketika mengalami musibah dan ikhlas ketika menerima ketetapan yang Allah Ta'ala berikan. Sekap berkhusnuzhan seperti ini, akan menjadi sugesti dan sekaligus mengundang pertolongan dari Allah Ta'ala.

Kelima, introspeksi diri, sebagaimana dalam tafsir As-Sa’di di atas bahwa ketika ujian itu ada, maka seseorang menjadi mulia atau menjadi hina (karenanya). Dari sini, menjadi media bagi kita untuk bermuhasabah atas seluruh amal ibadah yang kita lakukan selama ini.

Introspeksi atau muhasabah yang dimaksud adalah pada tataran beristighfar kepada Allah Ta'ala dengan sebanyak-banyaknya. Jangan lupa pula untuk meminta maaf kepada makhluk hidup yang ada kesalahan terhadapnya.

Keenam, berikhtiar mencari solusi. Setiap masalah pasti ada solusinya. Seringkali kita tidak mencari solusi tetapi justru mempermasalahkan masalah itu sendiri. 

Solusi bisa berasal dari muhasabah terhadap ujian yang menimpa diri kita. Kita bisa melakukan ikhtiar dengan berbagai cara yang halal. Bisa dengan mandiri atau bisa juga dengan meminta pendapat dan pertimbangan orang lain. Dan, yang lebih utama adalah meminta petunjuk dan tawakal kepada Allah Ta'ala melalui ibadah dan munajat yang kita lakukan.

Ujian dan cobaan hidup adalah hal yang pasti terjadi dan kita alami. Apa pun bentuk dan jenisnyanya, serta kapan pun hal itu terjadi. Masalah yang timbul bisa ringan atau bahkan berat. Setiap orang berbeda-beda. 

Sebagai seorang Muslim, kita harus yakin bahwa ujian yang datang tentu berasal dari Allah Ta'ala yang kerapkali disebabkan oleh ulah kita sendiri. Sudah tentu ada alasan mengapa Allah Ta'ala memberikan cobaan dan ujian kepada hamba-Nya dan terkhusus kepada diri kita. Tentu hanya Allah Ta'ala yang tahu. Dan, tugas kita adalah muhasabah diri lalu berikhtiar semaksimal mungkin. Selebihnya kita berserah diri dan tawakal kepada Allah Ta'ala, Sang Penentu Segalanya.  

Wallahu A’lam ***

(Penulis adalah seorang pendidik)