Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Kesedihannya pun semu.
Teringat satu nasihat dalam sebuah buku yang mengatakan bahwa, "Setiap yang menangis akan ditangisi, setiap yang mengiringi jenazah akan diiringi, semua yang disimpan akan binasa, semua yang diingat akan dilupa, tidak ada yang kekal, selain Allah. Semua ada saatnya."
Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmat dan kenikmatan.
Allah menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi juga kesedihan agar manusia tidak menyombongkan diri.
Dengan begitu, tidak ada salahnya bila seseorang merasa sedih jika sewajarnya.
Yang tercela adalah seorang yang larut dalam sedihnya. Kesedihan yang menghancurkan harapan, hingga membuatnya lemah, tekadnya meredup, rasa optimisnya menghilang.
Lalu, apa yang membuat kita berlarut dalam sedih sedang Allah menginginkan hamba-Nya bahagia?
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. At - Taubah ayat 40,
لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ
"Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita."
Maka betapa indahnya Islam, agama yang mencintai kebahagiaan.
Untuk itu, wahai diri, janganlah berlarut dalam kesedihan. Jangan biarkan setan memanfaatkannya. Bahagialah dan bersyukurlah. ***
(Penulis adalah mahasiswa STID M Natsir, Jakarta)