Oleh: Kartini |
Sore ini saya pergi ke sebuah toko untuk membeli sedikit keperluan dapur. Pada saat itu suasana toko sangat ramai oleh pembeli yang berlalu lalang untuk memilih barang.
Semua barang sudah kudapatkan, waktunya untuk antri membayar. Rupanya antrian di kasir cukup panjang sehingga saya harus ikut sabar mengantri.
Tak lama setelah itu datanglah seorang bapak yang berpakaian serba pendek dengan seorang anak kecil yang berada di gandengannya. Anak kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. "Pak, aku mau itu..". Ucap anak kecil itu dengan menunjuk sebuah permen coklat yang ada di rak kasir.
Rupanya sang ayah tak terlalu menghiraukan permintaan anaknya. Berulang-ulang kali anak kecil itu menunjuk ke arah permen coklat yang ia inginkan sambil berkata"Pak, mau itu..".
Dengan singkat bapak itu menjawab"Gak boleh, itu mah korona". Anak kecil itu pun langsung menjawab perkataan ayahnya "Aku, mau korona paaak..". Sontak orang-orang yang ada di toko itu tertawa mendengar perkataan anak kecil itu.
Mungkin hal demikian sudah lumrah terdengar di telinga kita. Masih banyak orang tua yang berbohong kepada anaknya hanya untuk menenangkan anak agar tidak rewel atau pun agar anaknya tidak berlaku boros. Ini merupakan salah satu strategi yang secara tidak sengaja dapat menanamkan sikap buruk terhadap pribadi anak. Karena sejatinya berbohong sangat tidak disarankan walaupun tujuannya untuk menyenangkan hati sang anak.
Dalam penelitian Hays dan Carver di Science Daily, disebutkan bahwa anak cenderung berbohong kepada orang yang juga berbohong kepada mereka. Mereka lalu merasa tak perlu menjunjung komitmen kepada orang yang sudah membohonginya.
Dari pernyataan tersebut tidak menutup kemungkinan anak akan meniru apa yang orang tuanya lakukan, karena sang anak menganggap orang tua sebagai pembawa informasi yang benar dan akurat.
Dalam Islam berbohong sangat tidak diperbolehkan walaupun sekecil apa pun, karena kebohongan akan menimbulkan banyak perselisihan.
Masih banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menenagkan anaknya tanpa harus membohonginya. Alihkan pembicaraannya kepada hal-hal yang dapat membuat hati anak senang. ***
(Penulis adalah mahasiswa STID M Natsir, Jakarta)