Kepemimpinan adalah amanah. Setiap pemimpin --yang memikul amanah-- akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Sang Khalik di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Pemerintah adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya ...”(Muttafaq ’Alaih).
Mengingat besarnya tanggung jawab seorang pemimpin, Umar bin Khatab RA. (seorang pemimpin yang adil) berkata, ”Seandainya seekor baghlah (hasil perkawinan silang himar dan kuda) terperosok di Irak, maka aku menganggap dirikulah yang harus bertanggung jawab atasnya di hadapan Allah; mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya?”
Beliau menggambarkan besarnya tanggung jawab dengan sebuah ungkapan, ”Saya senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat pahala dan tidak mendapat dosa.”
Oleh karena itu, kepemimpinan di dalam Islam lebih ditempatkan dalam konteks tanggung jawab (taklif) ketimbang sebagai penghormatan (tasyrif). Dengan demikian ia dituntut agar dapat menunaikan tugas dan perannya seoptimal mungkin.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara mudah. Semakin kompleks manusia serta wilayah kepemimpinannya maka semakin berat syarat yang dibutuhkan untuk bisa memikul tanggung jawab kepemimpinan tersebut.
Syarat menjadi ketua RT tentulah lebih simpel dan ringan dibandingkan syarat untuk menjadi lurah, begitu seterusnya untuk level kepemimpinan yang lebih tinggi, seperti camat, walikota/bupati hingga presiden.
Adapun kriteria menjadi pemimpin antara lain memiliki fisik yang sehat, mental yang matang dan kesalehan personal. Dia juga harus berkarakter adil, kuat, amanah, jujur, cerdas.
Kompetensi lain yang dibutuhkan adalah berkarakter imam (memimpin, mengasuh, menenangkan, menyempurnakan, memberi petunujk), amir (mampu memberi perintah, mengagumkan/kharismatis), waliyy (mampu dekat, akrab, dan mampu menarik loyalitas), qadah (mampu memandu, menunjukkan jalan), dan naqib (mampu memahami permasalahan, membuat kemaslahatan bagi orang banyak), komunikatif, berwawasan luas, dan tidak tersangkut KKN atau kasus asusila.
Contoh ideal pemimpin seperti yang disyaratkan di atas adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya berperan sebagai tokoh spiritual, tetapi juga sebagai guru/konselor, panglima perang, kepala negara, arsitek peradaban, suami dan ayah teladan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seorang Michael H. Hart, pengarang The 100: A Ranking of The Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi Muhammad SAW di peringkat pertama manusia yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Pemimpin yang mumpuni harus paham dan menguasai persoalan-persoalan yang dihadapi daerahnya (pengangguran, kemiskinan, hubungan antarkelompok masyarakat, lingkungan hidup, dan sebagainya). Di sektor ekonomi dia juga harus mampu menyeimbangkan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan.
Sebagai seorang yang cerdas dia juga harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat serta akurat (decisive). Selain itu mampu menjalankan keputusan dan mengelola perubahan secara sistemik. Last but not least, dia juga harus mendapatkan dukungan dan diterima publik (legitimate) lewat mekanisme pemilihan yang berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semoga. Wallahu a’lam bish shawab.
(Penulis adalah pemerhati sosial, tinggal di Beji, Depok, Jawa Barat)