Sumber: www.mahladi.com ---
Seorang jurnalis, sehabis menghadiri undangan liputan di sebuah acara di masjid besar di Jakarta, diajak oleh ketua panitia untuk mojok. Sang ketua panitia mengeluarkan sebuah amplop, lalu memberikannya kepada sang jurnalis.
Seorang jurnalis, sehabis menghadiri undangan liputan di sebuah acara di masjid besar di Jakarta, diajak oleh ketua panitia untuk mojok. Sang ketua panitia mengeluarkan sebuah amplop, lalu memberikannya kepada sang jurnalis.
"Terimakasih telah datang memenuhi undangan kami. Mohon maaf, kami hanya bisa memberi alakadarnya untuk biaya transportasi," kata sang ketua panitia yang merangkap ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) ini dengan sangat santun.
Tindakan seperti ini tentu biasa dilakukan oleh Pak Ketua DKM. Para ustadz yang diundang untuk mengisi ceramah dan kajian di masjid itu juga dikasih amplop olehnya, sekadar membantu Sang Ustadz yang telah menghabiskan banyak waktunya untuk dakwah.
Pertanyaannya, apa boleh sang jurnalis menerima amplop sebagaimana para ustadz yang kerap mengisi kajian di masjid-masjid? Dalam Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers tertulis: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga mengeluarkan kode etik serupa, yakni: Jurnalis menolak segala bentuk suap.
Pertanyaannya, apakah tindakan sang wartawan menerima amplop dari DKM masjid di atas terkategori suap? Mari kita simak kisah Rasulullah SAW dan seseorang dari kabilah Azd bernama Ibnu Lutaibhah (ada juga yang menyebutnya Ibnu Luthbiyyah) tentang pemberian yang diterima pengurus harta zakat dan sedekah.
Pada satu hari, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Lutaibhah diutus oleh Rasulullah SAW untuk mengambil harta zakat Bani Sulaim. Rupanya Ibnu Lutaibhah, selain mendapatkan harta zakat yang ia kumpulkan, juga mendapat sesuatu dari orang-orang yang dilayaninya.
Mendengar hal ini Rasulullah SAW marah. Beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan banyak orang. "Saya telah mengangkat salah satu dari kalian untuk menjalankan pekerjaan (mengumpulkan zakat). Kemudian dia datang kepada saya dan berkata, 'ini untukmu dan ini dihadiahkan kepadaku.' Kenapa dia tidak duduk di rumah ayah atau ibunya (maksudnya tidak usah bekerja), jika hadiah itu akan datang kepadanya bila ia benar?"
"Demi Allah", kata Rasulullah SAW lagi. "Janganlah kalian mengambil apa yang tidak menjadi hak kalian, kecuali kalian akan datang di hari kiamat menghadap Allah dengan membawa apa yang kalian ambil itu."
Dari cerita ini tergambar bahwa menerima pemberian terkait profesi adalah sogokan. Ibnu Abidin, dalam kitabnya Hasyisyah Ibnu Abidin, menyatakan bahwa risywah atau sogokan adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada pembuat keputusan (hakim) agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan.
Apakah wartawan termasuk pembuat keputusan? Dalam konteks pemberitaan, ya! Wartawanlah yang memutuskan apakah sebuah peristiwa akan ditulis atau tidak, termasuk dari sudut pandang mana ia akan menulis, dan informasi apa saja yang akan ia publikasikan.
Di sisi lain, sang pemberi amplop tentu amat berharap sang wartawan mau membuat laporan jurnalistik tentang acaranya, bahkan juga berkeinginan agar sang wartawan menulis hal-hal positif tentang acara yang ia selenggarakan, dan menyembunyikan hal-hal yang bisa menimbulkan persepsi negatif tentang acaranya.
Namun, bagi DKM masjid, memberikan uang kepada tamu yang mereka undang adalah lumrah. Mereka merasa tak menyogok sang jurnalis. Bukankah uang yang mereka pakai untuk mengisi amplop itu mereka laporkan kepada jamaah lewat pengumuman setiap akan ceramah Jumat?
Lagi pula, para ustadz yang menerima amplop serupa setelah mengisi kajian tak pernah merasa mereka disogok. Para ulama juga membolehkan para ustadz menerima uang ini. Lalu mengapa wartawan tidak boleh menerima amplop dari DKM masjid?
Ini semua menjadikan diskusi tentang status pemberian ampop kepada wartawan tidak sederhana. Ada begitu banyak variabel situasi yang perlu dipertimbangkan. Apalagi, konsekuensi dari status suap tidak sekadar mengenai si penerima (wartawan), tapi juga si pemberi.
Namun, para jurnalis, sebagai pilar yang dipercaya bisa mengubah keadaan suatu negara, harus bebas dari kepentingan narasumbernya. Sekecil apa pun itu! Mereka harus mampu bekerja profesional tanpa rasa sungkan atau terbebani oleh perasaan balas budi. Mereka harus bisa berdiri kuat di atas misi mulia yang mereka emban.
Karena itulah persoalan ini harus didudukkan pada tempat yang tepat. Para jurnalis harus bersepakat bahwa menerima uang saat melaksanakan tugas jurnalistik, tidak diperbolehkan, tanpa harus memperdebatkan apakah itu termasuk suap atau tidak.
Lebih tepatnya, para jurnaalis Muslim harus menyusun kode etik tentang ini dengan bunyi: Jurnalis Muslim bersepakat untuk tidak menerima uang atau bingkisan dari narasumber, baik langsung atau pun tidak langsung, yang berpotensi mempengaruhi isi tulisan/laporan jurnalistiknya.
Kunci dari redaksi kode etik ini adalah "bersepakat". Maksudnya, menyetujui secara bersama-sama untuk tidak melakukan hal itu dan rela mendapatkan sanksi apabila melanggarnya. Bukankah Islam membolehkan kaum Muslim bersepakat untuk tidak melakukan hal-hal yang hukum dasarnya mubah dengan maksud menghindari potensi kemudharatan yang diakibatkannya?
Dalam salah satu cabang ilmu ushul fikih ada istilah saddu dzariah, yaitu menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Kesepakatan ini tentu harus ada sanksi bagi pelaanggarnya. Dan, sanksi hanya bisa diberikan oleh organisasi profesi. Karena itulah pentingnya para jurnalis Islam bersatu dalam sebuah wadah organisasi yang mengatur etika profesi mereka.
Wallahu alam.