Sumber: www.mahladi.com --
"Saya masih butuh kalian," kata Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, saat berdialog dengan para jurnalis Muslim di suatu tempat di Jakarta Selatan, pertengahan Februari 2020 lalu.
Ungkapan ini ia sampaikan saat ditanya bagaimana kiat dia menghadapi perang opini di media sosial. Media sosial, katanya, mamang jauh lebih hiruk-pikuk ketimbang media pers. Namun, kehiruk-pikukan itu tak akan ada jikalau media pers tidak menyediakan bahan bakunya. "Karya kalian adalah bahan baku bagi media sosial."
Keberadaan media pers memang tak tergantikan meskipun konten-konten media sosial mewabah bak virus corona. Media pers lebih dipercaya ketimbang media sosial. Karena itulah ia menjadi bahan baku.
Sebagai bahan baku komunikasi, tentu media pers harus memiliki karakter mutlak, yakni bisa dipertanggungjawabkan. Konten media pers harus benar, bukan hoax. Masyarakat harus mendapat jaminan soal itu.
Jaminan tersebut diberikan oleh sang reporter sebagai garda terdepan pemburu informasi, media yang menaungi sang reporter berkarya, serta organisasi profesi tempat sang reporter bernaung, bahkan undang-undang yang mengatur tentang pers.
Jaminan yang diberikan organisasi profesi tercantum dalam kode etik yang mereka susun dan harus ditaati oleh seluruh anggotanya. Jurnalis Muslim, tentu saja harus memiliki kode etik yang memberikan jaminan ini. Bunyinya: Jurnalis Muslim tak dibenarkan mempublikasikan berita bohong.
Berbohong adalah perbuatan yang dicela dalam Islam. Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan hal ini. Sebutlah, misalnya, firman Allah Ta’ala dalam al-Quran surat Ghafir [40] ayat 28, yang artinya, "... Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta."
Rasulullah SAW juga bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan kepada surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan menunjukkan kepada kelaliman dan kelaliman itu akan menghantarkan kepada neraka. Seseorang yang terus menerus berbuat bohong akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong."
Dalam Hadits yang lain, Rasulullah SAW juga menegaskan, "Pertanda orang yang munafik ada tiga, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji mengingkari janjinya, dan apabila dipercaya dia berbuat khianat," (dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, ”Cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia menceritakan setiap yang dia dengar,” (Riwayat Muslim). Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya, adh-Dhu’afa, menafsirkan hadits ini sebagai ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar padahal ia sendiri tak yakin akan kebenarannya. Hadits ini senada dengan Hadits lain dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah SAW melarang untuk mengatakan qiila wa qoola (katanya dan katanya).
Dalam surat An-Nuur [24] ayat 11, Allah Ta’ala menyatakan, “...Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
Berbohong artinya mengungkapkan informasi yang tidak benar. Ada dua kemungkinan kebohongan yang dilakukan seorang jurnalis. Pertama, kebohongan karena ia memang menyengaja berbohong untuk alasan tertentu. Misalnya, sengaja membolak-balikkan fakta atau melebih-lebihkan informasi (mengada-ada) agar pembaca bereaksi atas apa yang diberitakannya.
Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumbernya dan diketahui oleh sang jurnalis, namun ia tetap mempublikasikan berita (informasi) bohong tersebut untuk tujuan tertentu.
Kedua, kebohongan karena ketidakpahaman sang jurnalis. Kebohongan jenis ini biasanya terjadi karena sang jurnalis menebak-nebak data/informasi yang ingin diketahuinya, padahal tebakannya itu salah.Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumber namun tak diketahui oleh sang jurnalis. Ia justru mempublikasikan berita bohong itu karena ketidakmengertiannya.
Kebohongan jenis kedua ini terjadi karena sang jurnalis tidak memiliki persiapan yang cukup sebelum melakukan wawancara. Pengetahuan yang amat terbatas tentang apa yang ingin dia tulis menyebabkan ia mudah ditipu oleh narasumber.
Ketidaksiapan ini kian menjadi parah bila bila sang wartawan tak mau melakukan verifikasi. Intinya, kebohongan jenis kedua ini disebabkan karena sang jurnalis tidak berhati-hati dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Kebohongan jenis apa pun, baik pertama maupun kedua, seharusnya tak dilakukan oleh seorang jurnalis Muslim. Sanksi atas pelanggaran kode etik belumlah seberapa dibanding sanksi yang akan mereka terima di Hari Pembalasan kelak.
Begitu banyak peringatan tentang larangan berbohong dari Allah Ta’ala seharusnya membuat seorang jurnalis Muslim merasa ngeri untuk melakukannya, kecuali bila mereka ragu dengan kebenaran Islam.
Wallahu a’lam.