Sumber: www.mahladi.com ---
Di sebuah ruang kelas berisi sekitar 30 mahasiswa di awal Maret 2020, saya melemparkan sebuah pertanyaan sederhana. "Mana yang lebih kalian takuti, terkena penyakit corona atau terkena penyakit demam berdarah?"
Sebagian dari mereka kontan menjawab, "Corona!" Memang, sejak Februari 2020 cerita tentang penyakit corona merebak. Tak hanya di Indonesia, juga dunia.
Lalu saya mencoba memberi penjelasan bahwa kedua penyakit ini sama-sama bersumber dari virus. Keduanya juga sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Si penderita yang terjangkiti kedua virus ini hanya bisa ditingkatkan daya tahan tubuhnya. Jika pengidap bisa bertahan dan Sang Khaliq belum berkehendak untuk mencabut nyawanya, maka penhidap akan sembuh.
Setelah itu, saya kembali menanyakan hal yang sama kepada para mahasiswa. Dan kali ini sedikit yang masih menjawab, "Corona". Sisanya diam saja!
Saya kembali melanjutkan cerita. Jika menelisik data para pengidap virus corona dan virus demam berdarah, maka peluang kematian justru lebih besar mereka yang terjangkiti demam berdarah. Saya tak tahu persis berapa angka probabilitasnya. Namun, saya yakin pernah membaca sebuah artikel tentang ini, dan dituturkan oleh orang yang kredibel di bidangnya.
Setelah itu, saya kembali mengajukan pertanyaan yang sama kepada para mahasiwa. Kali ini tak ada lagi yang menyebut corona. Hanya satu orang yang bersuara. Itupun tidak meyebut corona, tapi menyebut demam berdarah.
Begitulah opini bisa dibentuk. Bila kita membombardir masyarakat dengan sebuah isu, plus fakta-fakta yang mendukung isu tersebut, maka jadilah isu itu penting, bahkan bisa mengalahkan isu lain yang boleh jadi seaungguhnya lebih penting.
Namun, kita juga bisa mengcounter isu tersebut dengan mudah bila kita memiliki data yang mendukung hal tersebut, dan kita mampu mengomunikasikannya dengan benar.
Selamat datang di era perang data, perang informasi, dan perang opini. ***