Penulis: Azmi Madaniyyah. --
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Akal adalah nikmat besar yang Allah Subhanahu wa Taala titipkan ke dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan Allah Subhanahu wa Taala yang sangat menakjubkan.
Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Allah Subhanahu wa Taala, dalam permasalahan apa pun.
Namun, bagaimana jika akal digunakan untuk menentang syariat Allah atau mendurhakai-Nya? Atau, bagaimana jika akal menjadikan manusia enggan menerima kebaikan dan nasehat yang datang kepada dirinya?
Tidak sedikit kita temui dewasa ini, orang yang mengagung-agungkan akal namun menafikan dalil syar'i, sehingga manusia menjadi congkak, bahkan melupakan Sang Pemberi Akal.
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun, terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih.
Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih, dan akal dibuang dan ditaruh di bawah kaki," (Mukhtashar as-Shawaiq, halaman 82-83 dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-Aqliyyah, 1/6163)
Abul Muzhaffar as-Samani Rahimahullah, ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah berkata, Adapun para pengikut kebenaran, mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Taala di mana Allah Subhanahu wa Taala perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya" (al-Intishar li Ahlil Hadits hlm. 99).
Namun, kata Abul Muzhaffar as-Sam’ani lagi, jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya serta mengambil al-Kitab dan as-Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (al-Kitab dan as-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar, kadang salah.
Jika terjadi hal demikian, maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil, atau akal tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti benarnya.
Wallahualam.
Penulis adalah mahasiswa STID M Natsir