Sumber: www.mahladi.com. --
Sepintas, skeptis mirip dengan tabayyun. Keduanya seolah memiliki tujuan yang sama, yakni berhati-hati untuk mempercayai informasi yang datang kepada kita. Padahal keduanya berbeda.
Skeptis bebas dari nilai yang diperjuangkan. Ia sekadar menuntaskan prasangka atau menjawab hipotesa. Setelah itu selesai!
Sedangkan tabayyun punya nilai-nilai yang diperjuangkan, yakni kebenaran menurut Islam. Jadi ia bukan sekadar menjawab hipotesa, apalagi menuntaskan prasangka.
Selain itu, skeptis seringkali hanya menghasilkan informasi yang berimbang. Kata "berimbang", dalam kode jurnalistik secara umum, sering dijadikan tujuan utama seseorang melakukan klarifikasi. Hasil klarifikasi, sering dijadikan pelengkap informasi,
Namun tabayyun berbeda. Ia memang perlu mengambil informasi dari sisi yang lain (cover both side), namun tujuan utamanya bukan untuk perimbangan, melainkan sekadar untuk menghindari kesalahan informasi. Adapun nilai yang diperjuangkan tetap harus menjadi tujuan utamanya.
Jika untuk tujuan tersebut seseorang harus melakukan perimbangan, maka ia akan melakukan itu. Namun, untuk hal sebaliknya, ia tak akan lakukan. Sebab, mana mungkin kebenaran dan kebathilan disajikan dalam porsi yang sama?
Jadi, tabayyun bukan sekadar menghasilkan informasi yang berimbang sebagaimana sikap skeptis, tapi menghasilkan informasi yang benar sesuai dengan nilai-nilai yang ia perjuangkan,
Lebih jauh lagi, skeptis biasanya hanya sampai pada proses klarifikasi dan konfirmasi. Kalaupun ia masih perlu melakukan verifikasi, maka itu sekadar verifikasi atas fakta informasi.
Namun tabayyun lebih dari itu. Ia harus melakukan verifikasi, bukan hanya atas fakta informasi, tapi juga terhadap siapa yang menyampaikan dan mengapa informasi itu harus disampaikan.
Semua ini dilakukan karena rasa takut atas kekeliruan yang mungkin menyertai informasi tersebut. Bukan sekadar keliru atas fakta yang memang harus ia hindari, tapi juga keliru atas nilai yang sedang ia perjuangkan.
Wallahu a'lam.