Penulis: Ricki Tri Putra Nugroho |
Pemilu serentak 17 April 2019 telah dilaksanakan, dengan memperebutkan lebih dari 245.000 kandidat yang bersaing untuk lebih dari 20.000 kursi legislatif nasional dan lokal di Indonesia, serta memperebutkan jabatan sebagai presien Indonesia. Sebuah prestasi yang membangakan oleh KPU dengan melibatkan 6 juta pekerja yang di gaji lembaga itu sendiri.
Dalam sebuah negara yang belum demokratis, media massa yang netral sangat sulit ditemukan. Hal ini dapat dipahamai karena pemerintah memiliki otoritas yang kuat dalam menjaga stabilitas. Tak heran jika media di dalam negara tersebut sangat selektif menyiarkan berita dan tentunya melewati kontrol pemerintah. Begitu juga kondisi media di negara Indonesia sejak dahulu. Media massa yang ada pun biasanya merupakan representasi dari pemerintah atau Parpol tertentu.
BACA JUGA: Tanda-tanda Lemahnya Iman
Ketertarikan terhadap media massa secara tidak langsung sudah disepakati oleh sebagian elit politik atas dasar kepemilikannya beberapa media massa elektronik, sebut saja MNC Media Group yang meliputi MNC TV, RCTI, dan GTV dibawah kepemilikan Hary Tanoesoedibjo yang menjabat juga sebagai ketua umum Partai Perindo, kemudian ada juga Aburizal Bakrie ketua umum Partai Golkar pemilik dari ANTV dan TV ONE, serta Surya Paloh ketua umum Partai Nasdem pemilik Metro TV.
Tidak ada yang salah dalam kepemilikan media massa tersebut oleh sebagian elit politik, karena elit politik tersebut memiliki keterbukaan pikiran untuk berpolitik secara modern dengan memanfaatkan perkembangan teknologi di era globalisasi seperti ini.
Namun ketika dihadapkan dengan ketentuan kampanye yang sudah diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum maka sebagian elit politik yang sudah berpikir terbuka berkampanye secara modern justru lalai dalam menerapkan regulasi yang sudah disahkan. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak penyimpangan terkait tentang proses kampanye media massa.
BACA JUGA: Karena Hati Masih Berjarak
Media massa yang seharusnya bersikap netral terhadap peserta pemilu justru terkesan dimonopoli oleh sebagian elit politik yang menguasai media massa. Menurut Koordinator Indonesia Election Watch Nofria Atma Rizki dalam laporannya kepada Bawaslu menyebutkan bahwa ada pelanggaran yang dilakukan 11 partai politik dengan berkampanye sebelum waktu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui 3 ruang publik, yakni media audiovisual, cetak dan media luar ruang.
Dengan maraknya kasus penyimpangan pada masa kampanye ini seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, serta seluruh masyarakat Indonesia ikut serta berperan aktif dalam upaya evaluasi bersama sehingga dapat menciptakan pemilihan umum (pemilu) yang bersih sesuai dengan tata perundang-undangan yang ada sehingga dapat menghasilkan pemenang pemilu yang baik dilihat dari segala aspek yang ada. ***